"Adapun manusia apabila Tuhan-Nya mengujinya, lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.” [ QS. Al-Fajr ayat 15]
Adalah sudah menjadi fitrah kalau setiap manusia sangat merindukan penghargaaan dan penghormatan dari sesamanya. Orang-orang pun selalu berikhtiar dengan caranya sendiri untuk mendapatkannya.
Ada yang menganggap harta sebagai simbol penghargaan, sehingga orang pun berjuang keras untuk meraup dan mengumpulkannya dengan berbagai cara.
Ada yang menganggap pangkat dan kedudukanlah yang dapat meningkatkan derajat kemuliaan, sehingga berupayalah ia untuk meraih pangkat dan kedudukan tersebut setinggi-tingginya. Ada pula yang menganggap justru penampilan dan rupalah yang bisa membuat orang menghargaianya. Karenanya, tidak usah heran kalau begitu banyak orang yang berletih-letih, berjam-jam untuk membuat tubuhnya menjadi indah.
Akan tetapi, kenyataan membuktikan betapa banyak orang memiliki harta melimpah, kedudukan yang tinggi, gelar berderet, dan penampilan yang luar biasa, toh tetap saja tidak memiliki harga. Bahkan tidak jarang semua yang dianggap akan mendatangkan penghargaan terhadap dirinya, malah sebaliknya membuahkan cibiran dan hinaan orang karena tercemari oleh sikap atau perbuatannya sendiri.
Mengapa bisa terjadi demikian ? salah satu penyebabnya adalah karena terkadang banyak orang yang sibuk mencari penghargaan dari orang lain melalui berbagai atribut keduniaan, tetapi melupakan sesuatu yang justru sangat mahal nilainya yakni harga diri. Sebanyak apa pun atribut duniawi yang dia miliki, tetapi kalu tidak memiliki harga diri, maka tidak usah heran ia tidak akan pernah memiliki harga yang sesungguhnya.
Karena, harta, gelar, pangkat, kedudukan, dan penampilan hanyalah sekedar bungkus, sedangkan harga diri adalah isi. Sayangnya, orang justru sering mudah terjebak oleh bungkus belaka, sehingga menganggap semua itu adalah kemuliaan yang diberikan Alloh untuknya.
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya, lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, Tuhanku telah memuliakanku.”[QS. Al-Fajr ayat 15]
Padahal demi Alloh orang yang berpikiran semacam itu adalah benar-benar terkecoh dan tertipu oleh fatamorgana dunia. Karena, siapapun yang meyakini atribut keduniaan sebagai satu-satunya jalan datangnya kemuliaan dan penghargaan dari orang lain, maka setiap saat dengan mudah ia bisa terpelanting ke jurang kehinaan dan benar-benar tidak akan lagi punya harga.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :
……...“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bewntuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” [QS.At-Tiin ayat 4-5]
Cinta Dunia
Mengapa sebagian besar orang ternyata lebih merasa memiliki harga dengan memperindah “bungkus” daripada berusaha menggali, memiliki dan mempertahankan “isi”? Padahal justru “isi” itulah, harga diri itulah, yang justru bisa menjadi jalan datangnya kemuliaan dan penghargaan dari sesama.
Jawabnya, ternyata karena kebanyakan manusia berkecenderungan memiliki sifat hubbud dunya (cinta dunia). Padahal justru sifat inilah yang menjadi factor pailing potensial mengakibatkan seseorang rontok wibawa dn kemuliaannya walaupun ia punya segala-gala.
Betapa tidak ! semakin seseorang mencintai dunia dan menganggap sebagai jalan datangnya penghargaan bagi dirinya, dia akan semakin terperosok ke dalam sisi kehidupan yang pasti menyengsarakan lahir batinnya. Mengapa ? karena, di dalam tubuh manusia itu terdapat qolbu, satu perangkat yang tidak akan pernah terpuaskan oleh dunia berikut isinya.
Oleh sebab itu, meskipun orang telah memiliki berbagai apa pun di dunia ini, kalau qolbunya tidak pernah mwengenal Alloh Dzat pemilik alam semesta ini, maka ia tidak akan pernah memiliki, apalagi dapat menikmati hakikat kemuliaan diri dan ketenteraman dalam hidup.
Materialistis adalah sala sati penyakit yang melanda tidak saja orang-orang non muslim, tetapi juga sebagian besar kaum muslimin. Bagi orang-orang yang dilanda penyakit ini, hal yang dipikirkan dan dicarinya terus menerus siang malam hanyalah segala sesuatu yang bersifat duniawi. Ia serta-merta akan merasa bangga ketika dunia datang kepadanya. Sehingga menjadi sibuk pamer dan sibuk sombong meremehkan orang lain. Sebaliknya ia akan sangat terluka sedih luar biasa, terpuruk dan terpukul manakala Alloh mengambil kembali dunia itu dari genggamannya.
Sama jeleknya dengan orang yang sombong karena ada dan menjadi minder karena tiada. Kalau orang datang dengan penampilan yang baik secara duniawi, kadang-kadang penghaormatan pun serta merta kita berikan kepadanya. Padahal kita tidak tahu asesoris harta yang dimilikinya itu datangnya darimana. Kita memang mudah terjebak menghargai orang hanya dari status duniawi. Jarang kita berani menelusuri status kepribadiannya.
Barangsiapa yang mulai terperosok oleh kerinduan dipuji karena dunia, maka akan terkuras habis waktunya digunakan untuk berpikir dan bekerja banting tulang demi mendapatkannya, tanpa ia sendiri bisa menikmatinya. Persis seperti seorang anak kecil yang merengek-rengek kepasda orang tuanya minta dibelikan petasan. Ketika uang didapatkan ia pin lari ke warung. Terengah-engah nafasnya, bersimbah keringatnya.
Petasan yang di dambakannya pun didapatkan, sehingga dengan kegirangan ia kembali berlari pulang. Saking gembira hatinya, ia lengah tidak lagi melihat jalan yang ditapaki, sehingga kaki pun terantuk batu dan jatuh terjerembablah ia. Tubuhnya terluka dan mengeluarkan darah, iapun meringis menahan kesakitan, namun petasan tetap tergenggam erat di tangan. Akan tetapi masya Alloh, ketika petasan tersebut hendak disulut, ia malah memberikan kepada kakanya yang lebih besar. “ kak, tolong bakarkan petasan ini.” Sementar ia sendiri malah menutup telinganya rapat-rapat.
Petasan meletus tanpa ia nikmati. Orang lainlah yang menikmatinya, sedangkan dirinya hanya mendapatkan keletihan dan luka di badan. Demikianlah ciri khas ahli dunia. Ia akan sibuk sekali mencari dan mencari segala harta, gelar pangkat dan kedudukan, sampai-sampai tersiksa sendiri lahir batinnya, padahal ia sendiri tidak pernah bisa menikmati seutuhnya.
Siang malam mengejar kekayaan, lupa membina istri, alpa mendidik anak-anak, apalagi berpikir untuk bekal kepulangan ke akhirat kelak. Segala cara dihalalkan harta pun melimpah ruah. Berjuta atau bahkan bermilyar rupiah tabungan tersimpan di bank. Namun sebanyak apa pun uang yang ditimbunnya sungguh ia tidak pernah memegangnya karena justru pihak bank lah yang menikmatinya. Villa pun dibangun di lereng bukit, namun berapa hari dlam seminggu ia dapat beristirahat di dalamnya ? kenyataan yang ada malah sejumlah pembantunya lah, yang ditugasi menjaga dan merawatnya siang malam, yang enak-enak menikmati nyamannya villa itu.
Demi kenyamanan pergi dan pulang kantor atau bepergian kemanapun yang diinginkan, mobil mewah berharga ratusan juta rupiah pun ia usahakan. Cobalah kita tanya, berapa menit kah dalam sehari ia sempat menikmati kursi empuknya. Kenyataannya justru sang supirlah yang enak-enak tiduran di kursi empuk sedan sementara menunggu majikan keluar dari tempat kerjaan. Akan tetapi, sang majikan yang setiap hari dipusingkan oleh berbagai urusan kantor, pikirannya yang selalu tegang niscaya akan mudah marah meradang, sehinggga sang supir bisa kena dampratan, pembantu di rumah pun kerap kali kena sasaran kemarahan.
Di depan majikan supir dan pembantu itu akan tunduk ketakutan, tatapi di belakang mereka kerap bersungut-sungut dan menyumpah serapahinya habis-habisan. Oleh bawahannya di kantor ia sangat dihormati. Oleh relasi dan rekannya ia disanjung dan dipuji. Akan tetapi, masya Alloh, harga diri wibawa dan kemuliaannya justru jatuh terpuruk dimata supir dan pembantunya sendiri karena ia telah terjebak oleh harta, gelar, pangkat, dan kedudukan yang disandangnya, yang ia sangka sebagai sumber segala kemuliaan hidupnya. Demi Alloh Islam mengajarkan kita harus berikhtiar keras di dunia ini demi harga diri dan keluarga memiliki bekal hidup yang cukup. Akan tetapi untuk mendapatkannya kita harus memakai adab, sehingga harga diri kita tidak rontok karenanya.
Bagaimana caranya agar kita dapat memiliki dunia seraya tetap dapat mempertahankan dan memelihara satu-satunya “harta” yang tak ternilai harganya ini ? kuncinya tiada lain adalah bahwa kita harus memiliki dunia ini tanpa harus tergelincir menjadi ahli dunia, menjadi orang yang cinta dunia. Milikilah harta, gelar, pangkat, dan kedudukan untuk bekal hidup di dunia ini secukupnya saja, tetapi curahkanlah segala yang telah didapatkan itu sebanyak-banyaknya untuk beribadah kepada Alloh ‘Azza wa jalla, Dzat pemilik segala kemuliaan.
Sungguh, “ Barangsiapa yang menjadikan dunia ini (pusat) cita-citanya, niscaya Alloh akan mencerai beraikan urusannya dan menjadikan kepapaan menghantui dirinya serta tidak akan datang kepadanya keduniaan, kecuali sekedar apa yang telah ditetapkan. Akan tetapi, barangsiapa yang menjadikan akhirat itu niatnya, niscaya Alloh menghimpunkan segala urusan serta menciptakan kepuasan dalam hatinya sementara dunia datang tunduk kepadanya (Al-Hadits). Wallahu ‘alam
Harga diri seperti cahaya... |
Adalah sudah menjadi fitrah kalau setiap manusia sangat merindukan penghargaaan dan penghormatan dari sesamanya. Orang-orang pun selalu berikhtiar dengan caranya sendiri untuk mendapatkannya.
Ada yang menganggap harta sebagai simbol penghargaan, sehingga orang pun berjuang keras untuk meraup dan mengumpulkannya dengan berbagai cara.
Ada yang menganggap pangkat dan kedudukanlah yang dapat meningkatkan derajat kemuliaan, sehingga berupayalah ia untuk meraih pangkat dan kedudukan tersebut setinggi-tingginya. Ada pula yang menganggap justru penampilan dan rupalah yang bisa membuat orang menghargaianya. Karenanya, tidak usah heran kalau begitu banyak orang yang berletih-letih, berjam-jam untuk membuat tubuhnya menjadi indah.
Akan tetapi, kenyataan membuktikan betapa banyak orang memiliki harta melimpah, kedudukan yang tinggi, gelar berderet, dan penampilan yang luar biasa, toh tetap saja tidak memiliki harga. Bahkan tidak jarang semua yang dianggap akan mendatangkan penghargaan terhadap dirinya, malah sebaliknya membuahkan cibiran dan hinaan orang karena tercemari oleh sikap atau perbuatannya sendiri.
Mengapa bisa terjadi demikian ? salah satu penyebabnya adalah karena terkadang banyak orang yang sibuk mencari penghargaan dari orang lain melalui berbagai atribut keduniaan, tetapi melupakan sesuatu yang justru sangat mahal nilainya yakni harga diri. Sebanyak apa pun atribut duniawi yang dia miliki, tetapi kalu tidak memiliki harga diri, maka tidak usah heran ia tidak akan pernah memiliki harga yang sesungguhnya.
Karena, harta, gelar, pangkat, kedudukan, dan penampilan hanyalah sekedar bungkus, sedangkan harga diri adalah isi. Sayangnya, orang justru sering mudah terjebak oleh bungkus belaka, sehingga menganggap semua itu adalah kemuliaan yang diberikan Alloh untuknya.
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya, lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, Tuhanku telah memuliakanku.”[QS. Al-Fajr ayat 15]
Padahal demi Alloh orang yang berpikiran semacam itu adalah benar-benar terkecoh dan tertipu oleh fatamorgana dunia. Karena, siapapun yang meyakini atribut keduniaan sebagai satu-satunya jalan datangnya kemuliaan dan penghargaan dari orang lain, maka setiap saat dengan mudah ia bisa terpelanting ke jurang kehinaan dan benar-benar tidak akan lagi punya harga.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :
……...“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bewntuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” [QS.At-Tiin ayat 4-5]
Cinta Dunia
Mengapa sebagian besar orang ternyata lebih merasa memiliki harga dengan memperindah “bungkus” daripada berusaha menggali, memiliki dan mempertahankan “isi”? Padahal justru “isi” itulah, harga diri itulah, yang justru bisa menjadi jalan datangnya kemuliaan dan penghargaan dari sesama.
Jawabnya, ternyata karena kebanyakan manusia berkecenderungan memiliki sifat hubbud dunya (cinta dunia). Padahal justru sifat inilah yang menjadi factor pailing potensial mengakibatkan seseorang rontok wibawa dn kemuliaannya walaupun ia punya segala-gala.
Betapa tidak ! semakin seseorang mencintai dunia dan menganggap sebagai jalan datangnya penghargaan bagi dirinya, dia akan semakin terperosok ke dalam sisi kehidupan yang pasti menyengsarakan lahir batinnya. Mengapa ? karena, di dalam tubuh manusia itu terdapat qolbu, satu perangkat yang tidak akan pernah terpuaskan oleh dunia berikut isinya.
Oleh sebab itu, meskipun orang telah memiliki berbagai apa pun di dunia ini, kalau qolbunya tidak pernah mwengenal Alloh Dzat pemilik alam semesta ini, maka ia tidak akan pernah memiliki, apalagi dapat menikmati hakikat kemuliaan diri dan ketenteraman dalam hidup.
Materialistis adalah sala sati penyakit yang melanda tidak saja orang-orang non muslim, tetapi juga sebagian besar kaum muslimin. Bagi orang-orang yang dilanda penyakit ini, hal yang dipikirkan dan dicarinya terus menerus siang malam hanyalah segala sesuatu yang bersifat duniawi. Ia serta-merta akan merasa bangga ketika dunia datang kepadanya. Sehingga menjadi sibuk pamer dan sibuk sombong meremehkan orang lain. Sebaliknya ia akan sangat terluka sedih luar biasa, terpuruk dan terpukul manakala Alloh mengambil kembali dunia itu dari genggamannya.
Sama jeleknya dengan orang yang sombong karena ada dan menjadi minder karena tiada. Kalau orang datang dengan penampilan yang baik secara duniawi, kadang-kadang penghaormatan pun serta merta kita berikan kepadanya. Padahal kita tidak tahu asesoris harta yang dimilikinya itu datangnya darimana. Kita memang mudah terjebak menghargai orang hanya dari status duniawi. Jarang kita berani menelusuri status kepribadiannya.
Barangsiapa yang mulai terperosok oleh kerinduan dipuji karena dunia, maka akan terkuras habis waktunya digunakan untuk berpikir dan bekerja banting tulang demi mendapatkannya, tanpa ia sendiri bisa menikmatinya. Persis seperti seorang anak kecil yang merengek-rengek kepasda orang tuanya minta dibelikan petasan. Ketika uang didapatkan ia pin lari ke warung. Terengah-engah nafasnya, bersimbah keringatnya.
Petasan yang di dambakannya pun didapatkan, sehingga dengan kegirangan ia kembali berlari pulang. Saking gembira hatinya, ia lengah tidak lagi melihat jalan yang ditapaki, sehingga kaki pun terantuk batu dan jatuh terjerembablah ia. Tubuhnya terluka dan mengeluarkan darah, iapun meringis menahan kesakitan, namun petasan tetap tergenggam erat di tangan. Akan tetapi masya Alloh, ketika petasan tersebut hendak disulut, ia malah memberikan kepada kakanya yang lebih besar. “ kak, tolong bakarkan petasan ini.” Sementar ia sendiri malah menutup telinganya rapat-rapat.
Petasan meletus tanpa ia nikmati. Orang lainlah yang menikmatinya, sedangkan dirinya hanya mendapatkan keletihan dan luka di badan. Demikianlah ciri khas ahli dunia. Ia akan sibuk sekali mencari dan mencari segala harta, gelar pangkat dan kedudukan, sampai-sampai tersiksa sendiri lahir batinnya, padahal ia sendiri tidak pernah bisa menikmati seutuhnya.
Siang malam mengejar kekayaan, lupa membina istri, alpa mendidik anak-anak, apalagi berpikir untuk bekal kepulangan ke akhirat kelak. Segala cara dihalalkan harta pun melimpah ruah. Berjuta atau bahkan bermilyar rupiah tabungan tersimpan di bank. Namun sebanyak apa pun uang yang ditimbunnya sungguh ia tidak pernah memegangnya karena justru pihak bank lah yang menikmatinya. Villa pun dibangun di lereng bukit, namun berapa hari dlam seminggu ia dapat beristirahat di dalamnya ? kenyataan yang ada malah sejumlah pembantunya lah, yang ditugasi menjaga dan merawatnya siang malam, yang enak-enak menikmati nyamannya villa itu.
Demi kenyamanan pergi dan pulang kantor atau bepergian kemanapun yang diinginkan, mobil mewah berharga ratusan juta rupiah pun ia usahakan. Cobalah kita tanya, berapa menit kah dalam sehari ia sempat menikmati kursi empuknya. Kenyataannya justru sang supirlah yang enak-enak tiduran di kursi empuk sedan sementara menunggu majikan keluar dari tempat kerjaan. Akan tetapi, sang majikan yang setiap hari dipusingkan oleh berbagai urusan kantor, pikirannya yang selalu tegang niscaya akan mudah marah meradang, sehinggga sang supir bisa kena dampratan, pembantu di rumah pun kerap kali kena sasaran kemarahan.
Di depan majikan supir dan pembantu itu akan tunduk ketakutan, tatapi di belakang mereka kerap bersungut-sungut dan menyumpah serapahinya habis-habisan. Oleh bawahannya di kantor ia sangat dihormati. Oleh relasi dan rekannya ia disanjung dan dipuji. Akan tetapi, masya Alloh, harga diri wibawa dan kemuliaannya justru jatuh terpuruk dimata supir dan pembantunya sendiri karena ia telah terjebak oleh harta, gelar, pangkat, dan kedudukan yang disandangnya, yang ia sangka sebagai sumber segala kemuliaan hidupnya. Demi Alloh Islam mengajarkan kita harus berikhtiar keras di dunia ini demi harga diri dan keluarga memiliki bekal hidup yang cukup. Akan tetapi untuk mendapatkannya kita harus memakai adab, sehingga harga diri kita tidak rontok karenanya.
Bagaimana caranya agar kita dapat memiliki dunia seraya tetap dapat mempertahankan dan memelihara satu-satunya “harta” yang tak ternilai harganya ini ? kuncinya tiada lain adalah bahwa kita harus memiliki dunia ini tanpa harus tergelincir menjadi ahli dunia, menjadi orang yang cinta dunia. Milikilah harta, gelar, pangkat, dan kedudukan untuk bekal hidup di dunia ini secukupnya saja, tetapi curahkanlah segala yang telah didapatkan itu sebanyak-banyaknya untuk beribadah kepada Alloh ‘Azza wa jalla, Dzat pemilik segala kemuliaan.
Sungguh, “ Barangsiapa yang menjadikan dunia ini (pusat) cita-citanya, niscaya Alloh akan mencerai beraikan urusannya dan menjadikan kepapaan menghantui dirinya serta tidak akan datang kepadanya keduniaan, kecuali sekedar apa yang telah ditetapkan. Akan tetapi, barangsiapa yang menjadikan akhirat itu niatnya, niscaya Alloh menghimpunkan segala urusan serta menciptakan kepuasan dalam hatinya sementara dunia datang tunduk kepadanya (Al-Hadits). Wallahu ‘alam
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, pastikan tidak mengandung unsur negatif, SARA, menyinggung. Tujuan yang baik akan sempurna dikemas dengan ungkapan yang baik pula. Terimaksih