Big Think, Love & Success!!

.

Di Yogyakarta aku Tinggal

Kota Yogyakarta, kota pusat pendidikan di pulau jawa bagian tengah. Menyimpan berjuta kenangan bagi siapapun yang pernah belajar disini...

Berjuta Pesona

Yogyakarta dan pesona nya memikat mata warga dunia. Sudah siapkah menjadi bagiannya?...

Kendalikan Kecepatanmu

Persiapkan diri untuk melaju ikuti perkembangan dunia..

Harmoni dan Kesembangan

Hidup seimbang ciptakan harmonisasi diri..

Keindahan

Keindahan itu adalah impian setiap insan....Keindahan Hidup dalam menuju keabadian

Minggu, 19 Desember 2010

SUKA Atau CINTA

Oleh. Ari Wahyono

Kalau pemula tentu akan sulit membedakan. Namun yang sudah mengalami tentu mudah....Perhatikan bagan ini:

Suka, ia perasaan empatik yang dipenuhi dan bisa tercapai oleh sesuatu yang sampai pada kriteria fisik dan tak begitu dalam. Ia empatik namun jika belum memiliki belum ada masalah.

Jika dilanjutkan ia juga bisa menjadi CINTA,
Cinta adalah perasaan cocok dan suka yang ditempa oleh waktu dan pengorbanan dan interaksi kompleks yang melibatkan pemikiran , perasaan, emosi, dan idealisme serta pergaulan...

Hingga muncul perasaan yang sangat-sangat kuat.

Pada dataran ini perasaan ini bisa menghadirkan hal yang lebih tinggi kualitasnya...
pengorbanan dan seterusnya...

Senin, 29 November 2010

Malu itu sebagian dari Iman

Ditulis Kembali. Ust. Nashir Haris S, Lc

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. : Nabi Saw. Pernah bersabda ; “Iman meliputi lebih dari enam puluh cabang atau bagian. Dan Al haya’ (rasa malu) adalah sebuah cabang dari iman.” (HR. Bukhari)

Rasa malu itu keberkahan.
Dengan rasa malu kita terhalang dari dosa.

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshari Al Badri ra. berkata, Rasulullah saw telah bersabda, “Sesungguhnya sebagian yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari)

Kebinasaan seseorang dimulai dari hilangnya rasa MALU...
Bila sudah tidak ada rasa malu, maka dia menjadi manusia bebas.
Bebas tanpa aturan, dan bebas berbuat sesuai hawa nafsu.
Tuhannya hanyalah nafsunya.
Sehingga hidupnya bergelimang dosa.

“Sesungguhnya Allah jika menghendaki memBINASAkan seorang hamba,
maka Dia menCABUT dari orang itu rasa MALU.

Jika telah tercabut darinya rasa malu,
engkau tidak menjumpai orang itu kecuali berGELIMANG DOSA.

Jika engkau tidak menjumpai kecuali bergelimang dosa,
dicabut (pula) dari dirinya AMANAH.

Jika telah dicabut darinya amanah,
engkau tidak menjumpainya kecuali sebagai orang yang berKHIANAT dan diKHIANATi.

Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan berkhianat dan dikhianati,
maka dicabut darinya RAHMAT (Allah).

Jika telah dicabut darinya rahmat (Allah),
engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terKUTUK dan terLAKNAT.

Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat,
maka diCABUT darinya IKATAN dengan ISLAM”.

(HR. Ibnu Majah)

"Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu." (HR. Bukhari - Muslim)

Tetapi rasa malu yang dimaksud adalah menurut para sahabat Rasul, yang malu untuk berbuat dosa dan bukan ukuran manusia jahil yang malu untuk berbuat kebaikan, seperti malu ke masjid, malu ke pengajian dsb.

Seorang sahabat Rasulullah bertanya tentang kebajikan dan dosa, dan dijawab :

”Kebajikan itu ialah akhlak yang baik dan dosa itu ialah sesuatu yang merisaukan dirimu dan kamu tidak senang bila diketahui orang lain.” (HR. Muslim)

Jadi bila kita malu berbuat kebaikan dan tidak malu berbuat dosa...
Jangan-jangan kita adalah ummat yang akan binasa.

Na'udzubillahi min dzaalik

Wallahu a’lam bi showab

Kamis, 11 November 2010

Tips Melatih Ingatan


Adakalahnya kita merasa kemampuan otak untuk mengingat sudah mulai menurun dan merasa sering lupa. Sebenarnya lupa merupakan proses permulaan untuk mengingat sesuatu.Kemampuan daya ingat manusia umumnya terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu mengingat,
merekam, dan mendapatkan kembali. Nah untuk melatih kita agar kita dapat meningkatkan daya ingat antara lain dengan:
1. Memasukkan perasaan kita ke dalam suatu ingatan,
sesuatu yang diingat dengan perasaan adakalahnya akan susah dilupakan, misal anda mempunya kenangan indah dengan seseorang yang anda cinta, tentu susah dilupakan?
2. Melatih memori atau ingatan dengan kegiatan yang dapat meningkatkan daya ingat.
Misal berhitung, mengisi teka-teki silang, atau quiz. Kegiatan permainan tersebut dapat melatih daya ingat sehingga kualitas otak tidak menurun.
3. Mulailah dengan gaya hidup yang sehat,
antara lain dengan perbanyak makan makanan yang mengandung riboflavi,thiamine, vitamin B yang akan meningkatkan kemampuan otak untuk mengingat.
Juga menjaga kondisi tubuh, hindari stress.
4. Terus berlatihlah dengan ingatan anda. Cobalah untuk mengingat kembali kejadian/hal yang lalu untuk melatih mempertajam daya ingat.

Tips Tak Mudah Lupa

Berikut beberapa hal yang dapat membantu Anda memaksimalkan memori Anda.
Salah satu tips memori paling mendasar adalah pengulangan. Semakin kita mengulang semakin baik bagi ingatan kita. Namun bukan berarti kita bisa dengan cepat mengingat sesuatu dengan sempurna hanya dengan mengulang lima kali sebelum ujian. Karena pengulangan membutuhkan waktu dan frekuensi.
Maksudnya pengulangan akan berfungsi maksimal jika Anda menggunakannya, kemudian beri pikiran Anda istirahat dan kemudian anda kembali lagi dan menggunakan pengulangan lagi.
Siklus pengulangan, istirahat, pengulangan membantu pikiran untuk memperkuat memori informasi apa pun yang sedang Anda coba untuk jadikan pegangan. Ini berarti Anda harus mengalokasikan cukup waktu untuk mengikuti proses ini.
Tips lain adalah Asosiasi yaitu dengan menggunakan sesuatu yang akrab dengan anda, gambar atau lagu untuk membantu mengingat sesuatu. Anda “mengaitkan” potongan informasi yang Anda ingin menghafalnya dengan dengan gambar, lagu atau kata lain yang lebih akrab dengan anda.
Ketika Anda menemukan kesulitan untuk mengingat sesuatu yang anda ingin sampaikan anda dapat melihat item atau mengingat lagu atau kata yang anda suka dan ini akan membantu Anda untuk mengingat informasi yang berkaitan dengannya. Titik utamanya adalah membuat asosiasi yang mudah bagi Anda untuk mengingat sesuatu daripada hanya mengingat potongan informasi itu sendiri.

sumber:http://brainvit.com/tips-mudah-ingat.html

Tentang Qurban

Fiqh Qurban
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa
disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)

Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban),
maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/ & Syarhul Mumthi’ 7/521)

Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru
Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta
sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih
kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang
mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta)namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku
khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan,wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)

Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang
yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’(kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada
kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan
beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota
keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10
orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang
yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.

Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri
(Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman:
(kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut)
(QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan:
“Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.”(Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih.Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan inididasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba.Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.

Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang
tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh
karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.

Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak
ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya
berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlahkalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalianboleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No. Hewan Umur minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba/ kambing gembel 6 bulan (domba Jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai
belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
Sakit dan tampak sekali sakitnya.
Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika
baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa
isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut
menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban.
(Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat,telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman
Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu
Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat
Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375,Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing,sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al hadzab 1/74)
Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi
Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas
(analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin
radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua
kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad
27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As
Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini,
menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena
itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang
hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan
diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan
kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun,
mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu
tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga
shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi
anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum
ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku
maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih
(qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia
menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)

Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied
diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudahboleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.”(HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)

Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih.
Ahkaamul Idain, 32)

Tata Cara Penyembelihan
Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikanpenyembelihannya.Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih.
Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)

Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan Dihadiahkan kepada orang yang kaya
Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?”
Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan)
sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir,sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.”
Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab)disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir harby, karena kewajiban kita kepada
kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.”
(Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk
orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah.Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek,bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
م
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa
yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 &
Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun
Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka
pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging
atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar
meskipun dengan selain uang.
Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya
penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang
dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban)
disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak
sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual
maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang
dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun
shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan
onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh
memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya
beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat
mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai
bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan
adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika
ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan
pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi
jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna
dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka
tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan
memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak
diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata
Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban
dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan
mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk
lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus
Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya
lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1
juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI
MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya
sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari
jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia
dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat.
Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia
memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat.
Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil,
harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul
qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas
dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas
yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas
cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya
ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk
keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan
sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula
terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang
yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi
qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam
catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah
kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka
(baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran
penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa
panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam
hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban
dalam menjual kulit.
Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok
pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada
yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan)
dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di
sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang
yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan
mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat
tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat
shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian
ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari
perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain
tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah
dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging)
termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca
buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris
Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin
rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan
saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala,
sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi
Rabbil ‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428
Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
م م م م ! " # $ % & ' ( م ) م * – م + – ر - . : ر /. ' ( . /
' ( 0 - : . / ' ( 1 2 % ر 3 ر / . م 1 م ر م ) 4 + 5 .
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama
10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul
hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas)
ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai
hampir tidak bisa mampu melakukannya.Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus? Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan.
(disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel http://www.muslim.or.id

Rabu, 10 November 2010

Musibah di Atas Musibah

Ust. Ihsan Tandjung


Dewasa ini kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di Indonesia, negeri berpenduduk muslim terpadat di dunia. Belum selesai mengurus musibah dua kecelakaan kereta api sekaligus di awal Oktober, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter diikuti Tsunami hebat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan dengan erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi ibukota Jakarta dilanda banjir massif yang mengakibatkan kemacetan dahsyat di setiap sudut kota, bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi. Siapa sangka banjir di Jakarta bisa terjadi di bulan Oktober, padahal jadwal tahunan rutinnya biasanya di bulan Januari atau Februari..?

Kita sering heran mengapa kok di negeri berpenduduk muslim paling besar di dunia justeru Allah timpakan bencana secara beruntun dalam rentang waktu yang relatif berdekatan. Apalagi kita sudah diperingatkan bahwa masih ada lagi duapuluh gunung api yang perlu diantisipasi peningkatan aktifitasnya.
"Catatan kita ada 18 gunung yang berstatus waspada, 2 siaga dan 1 berstatus awas," kata Kepala Sub Bidang Pengamatan Gunung Berapi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Budianto dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (28/10/2010).
18 Gunung yang berstatus waspada adalah:
1. Gunung Sinabung (Karo, Sumut)
2. Gunung Talang (Solok, Sumbar)
3. Gunung Kaba (Bengkulu)
4. Gunung Kerinci (Jambi)
5. Gunung Anak Krakatau (Lampung)
6. Gunung Papandayan (Garut, Jabar)
7. Gunung Slamet (Jateng)
8. Gunung Bromo (Jatim)
9. Gunung Semeru (Lumajang, Jatim)
10. Gunung Batur (Bali)
11. Gunung Rinjani (Lombok, NTB)
12. Gunung Sangeang Api (Bima, NTB)
13. Gunung Rokatenda (Flores, NTT)
14. Gunung Egon (Sikka, NTT)
15. Gunung Soputan (Minahasa Selatan, Sulut)
16. Gunung Lokon (Tomohon, Sulut)
17. Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara)
18. Gunung Dukono (Halmahera Utara, Maluku Utara)

Sedangkan 2 Gunung yang berstaus siaga adalah:
1. Gunung Karangetang (Sulut)
2. Gunung Ibu (Halmahera Barat, Maluku Utara)

1 Gunung bersatus awas yakni Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta.
Demikian pula dengan kasus gempa di kepulauan Mentawai yang diyakini oleh para ilmuwan bakal memicu datangnya megathrust (gempa besar). Detikcom (Sabtu, 30 Oktober 2010) mencatat sebagai berikut:

Jakarta- Gempa berkekuatan 7,2 skala richter (SR) versi BMKG dan 7,7 SR versi USGS, yang mengguncang Mentawai pada Senin (25/10) lalu disebut sebagai gempa susulan dari gempa besar pada 12 September 2007 silam. Saat itu, kekuatan gempanya 8,4 SR. Kembali diingatkan juga potensi gempa dahsyat hingga 8,8 SR di sekitar Sumatera beberapa dekade mendatang.

"Dari analisa US Geological Survey dan juga BMKG, gempa ini disebabkan oleh pergerakan patahan pada Sunda megathrust, yaitu pada bidang batas tumbukan LempengHindia-Australia terhadap Lempeng Sunda," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam, Andi Arief, dalam rilisnya, Rabu (27/10/2010).
Dituturkan Andi, pusat gempa Mentawai terletak di sebelah barat dari bagian utara sumber gempa September 2007, dan sekaligus juga di ujung utara dari sumber gempa bawah laut -megathrust (gempa besar) yang menurut prediksi para ahli berpotensi untuk mengeluarkan gempa besar hingga kekuatan 8,8 SR di waktu mendatang.
"Dalam beberapa bulan ke depan, tim EOS-LIPI akan menganalisis data dari jejaring alat GPS ini untuk lebih mengerti tentang mekanisme gempa kemarin," kata Direktur EOS, Prof Dr Kerry Sieh.

Pada 15 Oktober 2009, Dr Kerry Sieh menyatakan, gempa bumi kolosal (sangat besar) diperkirakan akan menghantam Pulau Sumatera dalam waktu 30 tahun ke depan. Ahli ilmu bumi memperingatkan bahwa tsunami besar dan gempa bumi mematikan yang terjadi sebelumnya merupakan suatu peringatan.
"Kami memperkirakan akan terjadi dengan kekuatan 8,8 SR, kurang atau lebihnya sekitar 0,1 poin," ujarnya.
Sungguh, hidup di negeri Indonesia dewasa ini kita sangat perlu mencamkan pesan Allah berikut ini:
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf [7] : 99)

Allah mengajarkan kepada kita bahwa perilaku alam sangat berkaitan dengan perilaku kumpulan manusia yang tinggal di lingkungan alam tersebut. Bila masyarakatnya baik di mata Allah, yakni beriman dan bertaqwa, maka Allah akan limpahkan banyak keberkahan kepada masyarakat tersebut dari langit maupun bumi. Tapi sebaliknya, bila mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan timpakan hukumanNya kepada mereka melalui beragam bencana yang bisa datang di waktu siang maupun malam hari.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ
وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ
بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ
أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ
بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (QS. Al-A’raf [7] : 96-98)

Jangan-jangan Allah menilai bahwa masyarakat kita hanya mengaku secara lisan beriman dan bertakwa, padahal sesungguhnya kita sering mendustakan ayat-ayat Allah dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Kaum muslimin di negeri ini boleh banyak jumlahnya, namun yang benar-benar beriman jangan-jangan sangat sedikit. Kita mengaku beriman kepada Allah, tapi kita seringkali gagal menghadapi berbagai ujian yang Allah sodorkan. Sehingga kita tidak dipandang benar dalam pengakuan keimanan, malah kita dinilai Allah dusta dalam pengakuan keimanan. Padahal setiap ujian yang ada dalam hidup ini adalah untuk mendeteksi kemurnian iman seseorang.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا
أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)

Demikian pula dengan ke-taqwa-an yang kita klaim bersemayam di dalam diri kita. Jangan-jangan kita baru bertaqwa yang sifatnya artifisial belum taqwa kepada Allah yang sejati. Padahal setiap menghadiri sholat jumat, kita selalu diperingatkan oleh para khotib untuk bertaqwa yang sebenarnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ
تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali-Imran [3] : 102)

Berbagai bencana yang menimpa masyarakat ini jelas mengakibatkan munculnya berbagai macam musibah. Musibah itu meliputi kehilangan nyawa orang-orang yang dicintai, harta-benda, tempat tinggal dan kenormalan hidup sehari-hari. Jelas ini semua merupakan derita dunia yang sangat berat. Sehingga wajar dan bersyukurlah kita melihat begitu banyaknya fihak yang bersegera mengulurkan tangan dengan memberikan aneka bentuk bantuan. Dan sudah barang tentu bantuan yang paling minim tetapi sekaligus paling bermakna ialah bantuan doa.
Salah satu doa yang Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kita ialah sebuah doa panjang yang di dalamnya menyebutkan persoalan musibah. Dan sangat menarik untuk dicatat bahwa ternyata jenis musibah yang Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan Allah dalam menghadapinya ialah musibah yang menyangkut urusan dien (agama).

وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا
.... dan janganlah Engkau (Ya Allah) jadikan musibah kami pada agama kami. (HR. Tirmidzi 3424)

Melalui potongan doa di atas jelaslah bagi kita bahwa Nabi shollalahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan bilamana musibah yang datang menimpa berkenaan dengan kemaslahatan urusan dien (agama) kita. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh merasa sedih bila kehilangan nyawa orang-orang yang dicintai, harta-benda, tempat tinggal dan kenormalan hidup sehari-hari. Tetapi kita diarahkan untuk lebih khawatir bila musibah yang menimpa sampai menyebabkan kehilangan dalam urusan agama. Jangan sampai kita merasa sedih bila kehilangan berbagai hal yang bersifat duniawi, namun kita tidak sedih dan risau bila kehilangan agama, iman, taqwa atau petunjuk-hidayah ilahi. Sebab pada hakekatnya urusan dien merupakan urusan yang paling berharga dan bermanfaat dalam kehidupan di dunia ini. Agama merupakan harta utama bagi seorang muslim sejati. Jangan sampai kita sedemikian peduli mempertahankan berbagai harta duniawi namun rela kehilangan harta utama, yaitu iman dan taqwa. Bila sampai ini yang terjadi berarti kita telah ditimpa musibah di atas musibah..!

Maka dalam kondisi sekarang yang paling penting diingatkan kepada siapapun, terlebih khusus korban bencana, ialah agar bersabar menghadapi musibah kehilangan berbagai harta dunia sambil mengokohkan iman dan taqwa mereka. Sebab iman dan taqwa merupakan harta utama yang tidak boleh sampai lepas betapapun telah lepasnya berbagai harta dunia.

Belakangan ini media berusaha membangun opini masyarakat bahwa perilaku salah seorang yang telah menjadi korban tewas di saat meletusnya gunung Merapi merupakan tokoh yang patut diteladani. Dialah sang “juru kunci” gunung Merapi. Ia patut diteladani karena kegigihannya menjalankan tugas sebagai kuncen gunung Merapi hingga saat terakhir sehingga rela mengorbankan nyawanya demi menjalankan tugas tersebut. Sampai di sini sesungguhnya masalah telah timbul. Tetapi yang membuat urusan ini menjadi sangat serius ialah tatkala ditemukannya jasad yang bersangkutan dalam posisi “bersujud” kemudian media mulai mengembangkan opini bahwa tokoh ini mati sebagai seorang “muslim yang taat.” Apakah benar demikian? Cukupkah kita menilai seseorang muslim taat dengan ditemukannya fakta ini? Cukupkah ia dinilai sebagai orang soleh hanya berdasarkan fakta bahwa ia rajin sholat tepat waktu?
Seorang yang mengaku muslim tidak boleh dikafirkan semata-mata karena perbuatan maksiat yang telah dilakukannya. Namun bila terbukti bahwa ia terlibat dalam ucapan, sikap atau perbuatan yang tidak bisa tidak diartikan sebagai hal yang menyebabkan dirinya dihukumi sebagai kafir apalagi musyrik, maka adalah suatu kebatilan bila kita tetap menyebutnya sebagai seorang muslim, apalagi muslim yang taat.
Mari kita coba amati kasus juru kunci gunung Merapi. Bagaimanakah keadaannya?
Secara pribadi, penulis tidak kenal dengan beliau. Namun berdasarkan berbagai bukti yang bisa kita saksikan dan baca di media kita memperoleh kesimpulan bahwa profesinya adalah sebagai seorang kuncen. Dan apakah sebenarnya makna tugas sebagai juru kunci gunung Merapi? Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas kita jumpai keterangan sebagai berikut:

Juru kunci Merapi adalah seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang ditunjuk langsung oleh SultanKasultanan Yogyakartauntuk menjaga dan mengelola makhluk halus di wilayah Gunung Merapi. Juru kunci Merapi terakhir adalah Mas Penewu Suraksohargo atau lebih dikenal dengan nama Mbah Maridjan, yang menjabat sejak tahun1983 hingga kematiannya dalam erupsi gunung Merapi di tahun 2010.
Dari detikNews 31 Oktober 2011 kita kutip sebagai berikut:
Legenda Gunung Merapi telah ditinggalkan sang kuncen yang selama 30 tahun telah menemaninya. Lalu seberapa penting arti juru kunci di gunung teraktif di nusantara ini.

"Itu penting banget, kalau tidak ada juru kunci para pendaki tidak akan mendapat informasi tentang gunung yang didaki. Kuncen biasanya memberi tahu apa yang dilarang, jalur pendakian, penyelamatan dan lain-lain," kata mantan mahasiswa pencinta alam, Sandi M, yang saat ini menjadi relawan PMI Kabupaten Sleman, saat berbincang dengan detikcom, di posko utama penanggulangan bencana Merapi di Pakem, Jalan Kaliuran, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (30/10/2010).

Menurutnya, Mbah Maridjan bertugas menjaga gunung dengan cara menerawang dari pengalaman atau 'ilmu titen', dan menggabungkannya dengan firasatnya yang telah terlatih sebagai warga Merapi sejak kecil.

Berdasarkan dua keterangan di atas berarti kita dapat simpulkan bahwa seorang “juru kunci” ialah seorang yang dianggap memiliki pengetahuan mengenai perkara yang ghaib dan alam ghaib. Dan seorang “juru kunci gunung” berarti seorang yang dianggap memiliki pengetahuan mengenai perkara ghaib dan alam ghaib yang terkait dengan gunung tersebut.

Jika kesimpulan ini benar, berarti profesi seorang “juru kunci” identik alias sama dengan profesi seorang dukun. Yang di dalam persepektif ajaran Islam yang paling inti -yaitu Tauhid- merupakan profesi yang sarat dengan dosa syirik dan pelakunya disebut seorang musyrik. Ia telah mempersekutukan Allah dengan sesuatu selain Allah subhanahu wa ta’aala. Pantaslah bilamana kita sering melihat sang juru kunci gunung Merapi melakukan ritual-ritual berupa pemberian sesajen serta menyembah ke arah batu besar tertentu dan lain sebagainya yang mana semua itu merupakan bentuk-bentuk upacara peribadatan lazimnya seorang dukun, paranormal atau panganut aliran kepercayaan.

Dan ini semua jelas tidak pernah dicontohkan oleh teladan kita Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sebaliknya, ini semua merupakan praktek kaum musyrikin yang dengan tegas ditentang dan diperangi oleh beliau.
Ketika mendefinisikan salah satu makna thaghut, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bukunya Kitabut Tauhid menjelaskan sebagai berikut: “Salah satu makna thaghut ialah orang yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib selain Allah.” Bila ada orang yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib, maka dia adalah thaghut, seperti dukun, paranormal, tukang ramal atau tukang tenung. Allah berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dialah (Allah), Dzat yang mengetahui perkara yang ghaib. Dia (Allah) tidak menampakan yang ghaib itu kepada seorangpun” (QS. Al-Jin [72] : 26)

Sedangkan konsekuensi ber-Tauhid ialah di satu sisi beriman dengan benar kepada Allah subhanahu wa ta’aala dan di sisi lain dengan tegas mengingkari thaghut, tidak membenarkannya apalagi mengimaninya. Dan barangsiapa yang ber-Tauhid dengan lengkap seperti ini berarti ia telah mengikatkan dirinya dengan tali penghubung yang paling kokoh kepada Allah, Rabb, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam raya beserta segenap isinya.
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
"Barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus." (QS. Al-Baqarah [2] : 256)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia mempercayainya, maka dia telah kafir. Lalu bagaimana lagi dengan si dukun itu sendiri?
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ
بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abu Hurairah dan Al Hasan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi seorang dukun atau peramal kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Ahmad 9171)

Demikianlah, sejauh yang kita ketahui juru kunci gunung Merapi menjalankan profesinya hingga maut menjemputnya. Kita tidak pernah mendengar bantahan dari siapapun –apalagi dari dirinya sendiri- bahwa ia pernah ber-taubat atau baro (berlepas diri) dari posisinya sebagai juru kunci. Artinya, hingga saat-saat terakhir hidupnya ia meyakini bahwa dirinya adalah seorang yang memiliki kemampuan mengetahui perkara ghaib seputar gunung Merapi. Dan ini berarti ia tetap keukeuh sebagai dukun, paranormal alias thaghut...! Lantas bagaimana sosok seperti ini layak dijuluki sebagai “muslim yang taat.” Walau jasadnya ditemukan dalam keadaan bersujud sekalipun, ini tidak dapat begitu saja menghapuskan keterlibatannya di dalam dosa yang tidak terampuni, yaitu dosa syirik.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلالا بَعِيدًا إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ
إِلا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلا شَيْطَانًا مَرِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka. (QS. An-Nisa [4] : 116-117)

Seorang muslim hanya dapat menilai berdasarkan apa yang tampak/lahir, sedangkan urusan yang tersembunyi/batin kita serahkan sepenuhnya kepada Allah ta’aala. Jangankan kita yang merupakan manusia biasa, sedangkan Nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam sekalipun tidak mampu berbuat apapun tatkala mendapati pamannya Abu Thalib di akhir hayatnya mati dalam keyakinan ajaran kaum musyrikin dan enggan menyambut ajakan Tauhid yang diserukan keponakannya. Padahal kita tahu begitu banyak kebaikan yang telah dilakukan Abu Thalib dalam hidupnya, termasuk membela keponakannya pada saat-saat tertentu.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ
جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ
وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِأَبِي طَالِبٍ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا
كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ
أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ (البخاري)

Ketika menjelang kematian Abu Thalib, datanglah Rasulullah shollalahu ‘alaihi wa sallam dan didapati di samping pamannya Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Nabi shollalahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Thalib: “Pamanku, ucapkanlah Laa ilaha illa Allah, suatu kalimat yang aku akan bersaksi di hadapan Allah untuk melindungimu.” Sehingga akhir ucapan Abu Thalib adalah ikut millah Abdul Muthallib dan ia enggan mengucapkan Laa ilaha illa Allah. Maka bersabda Rasulullah shollalahu ‘alaihi wa sallam: “Demi Allah, akan kumintakan ampunan Allah atasmu selagi Allah tidak melarangnya… lalu Allah turunkan At-Taubah ayat 113.” (HR. Bukhary)

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ
كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
”Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah [9] : 113)

Sungguh, kita sangat prihatin menyaksikan begitu banyaknya orang yang mengalami musibah akibat berbagai bencana yang terjadi. Mereka terpaksa mengalami musibah kehilangan berbagai harta duniawinya. Kehilangan nyawa dirinya, keluarganya, harta-bendanya, tempat tinggalnya dan berbagai kenormalan hidup lainnya. Tetapi Nabi shollalahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita agar mewaspadai musibah yang lebih hebat, yaitu musibah kehilangan dien (agama) kita. Saudaraku, janganlah kita sedemikian sedih dan emosionalnya sehingga kehilangan kemampuan furqon (membedakan antara al-haq dan al-batil). Janganlah kesedihan kita membuat hilangnya kesanggupan membedakan mana Tauhid dan mana syirik. Sebab Tauhid pasti mendatangkan keberkahan, sedangkan syirik pasti mendatangkan murka dan siksaan Allah. Apalagi jika kita malah mencampur-adukkan antara iman dan kafir. Kita malah mengatakan pelaku kemusyrikan justeru sebagai muslim yang taat. Inilah musibah di atas musibah yang lebih mengerikan. Yang boleh jadi justeru semakin mengundang datangnya lebih banyak bencana lainnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا
وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
(QS. Al-Anfal [8] : 29).(A-we)

Sabtu, 06 November 2010

Musibah dan Bencana Ini, Apakah Adzab dari Allah SWT

Oleh. Ust. Sigit Pranowo, Lc



Dalam beberapa tahun terakhir, negeri ini terus menerus secara beruntun ditimpa berbagai bencana yang banyak memakan korban jiwa dan kerugian harta benda. Terakhir sekali ujian di bulan lalu, hanya dalam sebulan (oktober) negeri ini ditimpa 3 bencana: tanah longsor di Wasior, tsunami di Mentawai dan letusan gunung Merapi yang hingga hari ini masih terus mengeluarkan materialnya dengan letusan-letusannya.
Lalu apakah itu semua ujian atau adzab dari Allah SWT ?

Jika kita melihat pada tabiat berbagai musibah itu berupa kesengsaraan atau kesulitan lalu melihat waktu kejadiannya di dunia serta sasaran atau obyeknya yang menimpa orang-orang yang ada di sekitar wilayah musibah-musibah itu tanpa membedakan antara orang-orang baik atau zhalim maka bisa dikatakan bahwa ia adalah ujian bagi sebagian orang untuk memilah kualitas keimanan dan ketaatan mereka sebagaimana firman-Nya :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ﴿٢﴾
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67] : 2)

Dan bisa jadi ia adzab dari Allah bagi sebagian lainnya yaitu para pelaku maksiat dan dosa yang enggan untuk bertaubat, sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah SWT:
فَلْيَضْحَكُواْ قَلِيلاً وَلْيَبْكُواْ كَثِيرًا جَزَاء بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ ﴿٨٢﴾
Artinya: “Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. At Taubah [9] : 82)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali berkata, "Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang ayat yang paling utama dalam kitabullah ta'ala, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakannya kepada kami, (yaitu ayat): "(Apa saja musibah yang menimpa kalian maka disebabkan oleh perbuatan tangan-tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Ash-Shura [42] : 30), dan saya akan menafsirkannya kepadamu wahai Ali, apa-apa yang menimpa kalian berupa sakit, siksaan atau cobaan di dunia, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian dan Allah ta'ala Maha Pemurah dari hendak mengadzab dua kali kepada mereka ketika di akherat sedangkan apa-apa yang Allah maafkan di dunia maka Allah ta'ala Maha Lembut dari hendak kembali setelah memaafkannya."

Siksa atau adzab yang diberikan Allah SWT itu disebabkan dosa-dosa mereka sebagaimana firman-Nya:
فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُم بِذَنبِهِمْ فَسَوَّاهَا ﴿١٤﴾
Artinya: “Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, Maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah).” (QS. Asy-Syams [91] : 14)

Para Pemimpin yang Jauh Dari Allah
Dosa-dosa dan kemaksiatan yang dilakukan itu menuntupi hati dan keimanan mereka. Ketiadaan iman membawa mereka melakukan berbagai kerusakan bukan hanya yang bersifat fisik, seperti pengrusakan alam, namun juga yang bersifat mental, seperti: kezhaliman, tidak memperhatikan halal dan haram, boleh dan tidak boleh menurut agama serta lainnya. Ketiadaan iman itu tidak hanya merusak diri mereka sendiri akan tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Semakin banyak para pelaku dosa dan kemaksiatan ini maka semakin berat pula bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ ﴿٣٠﴾
Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Ash-Shura [42] : 30)
Kerusakan mental dan ketiadaan iman manusia di suatu negeri tidaklah bila dilepaskan dari kerusakan agama para pemimpin dan ulamanya. Ibnul Mubarok mengatakan, ”Tidaklah kerusakan agama (iman) yang ada kecuali dikarenakan para penguasa dan ulama su’u (buruk).”
Senada dengan apa yang perkataan Ibnul Mubarok diatas, Imam Ghazali di dalam kitabnya “Ihya” menyebutkan bahwa sesungguhnya kerusakan terjadi para rakyat disebabkan kerusakan para pemimpin dan kerusakan para pemimpin disebabkan kerusakan para ulama.”
Ketika para pemimpin suatu negeri tidak lagi memiliki keimanan di hatinya, tidak memperdulikan halal-haram, mengabaikan syariat Allah, membuat berbagai kebijakan dan aturan yang menzhalimi umat, asyik tenggelam dengan dunianya sendiri, terus menambah pundi-pundi kekayaannya, melanggengkan jabatannya sementara mereka menutup mata atas kesulitan rakyatnya maka selain membawa kesengsaraan kepada masyarakat secara umum juga dapat medatangkan kemurkaan Allah swt ketika para ulamanya tidak lagi mau menasehati dan meluruskan mereka.
Disadari atau tidak, sesungguhnya prilaku buruk para pemimpin dapat menjadi contoh buruk bagi para pemimpin yang ada di level bawahnya atau juga bagi masyarakat yang menyaksikannya. Sungguh mereka tidak hanya memikul dosa-dosa perbuatan mereka saja akan tetapi juga dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya. Tepatlah apa yang disebutkan Ibnu Hajar di kitabnya “al Fath” bahwa rakyat itu tergantung (kualitas) agama para pemimpinnya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika para pemimpin yang mengurusi jiwa-jiwa dan harta rakyatnya tetap istiqamah (diatas kebenaran) maka rakyat mereka pun akan istiqamah, sebagaimana perkataaan Abu Bakar kepada wanita Ahmasiyah di dalam riwayat Imam Bukhori, ”Wanita itu berkata: 'Apa yang membuat kami eksis di atas kebaikan dari apa yang Allah datangkan setelah zaman jahiliyyah ini?' Abu Bakar menjawab: 'Yang membuat kalian tetap di atas kebaikan adalah selama pemimpin-pemimpin kalian istiqamah.' Wanita itu bertanya: 'Siapakah para pemimpin?' Abu Bakar menjawab: 'Bukankah kaummu memiliki para pembesar dan tokoh yang memerintahkan mereka lalu mereka menta'ati pemimpin mereka?' Wanita itu menjawab: 'Ya benar' Abu Bakar berkata: 'Mereka itulah para pemimpin masyarakat'.”
Karena itulah para pemimpin umat ini terdahulu sangat khawatir jika mereka tidak bisa istiqamah di atas jalan dan manhaj Allah SWT di dalam mengurusi permasalahan rakyatnya. Mereka betul-betul meyakini kalaulah bisa lepas dari pengamatan orang lain, luput dari pengadilan dunia akan tetapi mereka tidaklah bisa menghindari pengadilan Allah swt yang akan menanyakan semua harta yang didapat, perbuatan yang dilakukan, kekuasaan yang direbut, jabatan yang diraih, kebijakan yang dibuat. Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang amir adalah pemimpin bagi rakyatnya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas mereka.”
Ketika Umar bin Abdul Aziz berada di mushallanya lalu istrinya masuk dan melihat Umar tengah menopang kedua pipinya dengan kedua tangannya sambil mengucurkan air mata yang membasahi janggutnya. Istrinya pun bertanya, "Wahai Amirul Mukminin adakah suatu kejadian?" Umar menjawab, "Wahai Fatimah sesungguhnya di leherku terdapat urusan umat Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam baik yang berkulit hitam atau merah. Lalu aku merenungi perkara orang miskin yang lapar, orang sakit yang lemah, yang telanjang tak berpakaian, yang tertindas, terzhalimi, teraniaya, terasing, para tahanan, orang-orang tua renta, orang yang memilik banyak anak-anak sementara harta mereka sedikit atau orang-orang seperti mereka semua yang ada di seluruh pelusuk tanah air dan penjuru negeri, sungguh aku mengetahui bahwa Tuhanku akan menanyaiku tentang (keadaan) mereka pada hari kiamat maka aku takut tidak memiliki satu argumentasi pun dihadapan-Nya maka aku pun menangis."
Renungan dan tangisan yang bukan hanya basa basi namun dibuktikan dengan kezuhudan, keadilan dan perhatian besarnya untuk senantiasa mendahulukan kepentingan rakyatnya daripada diri dan keluarganya, senasib dan sepenanggungan dengan rakyatnya meskipun hanya 2.5 tahun Umar memegang tampuk kekuasaan sebelum akhirnya beliau meningal dunia karena diracun.
Di masanya, tidak ada dari kaum muslimin yang berhak menerima zakat (mustahik) dari baitul mal sehingga beliau memutuskan bahwa kelebihan harta di baitul mal-baitul mal kaum muslimin itu dibagi-bagikan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani namun mereka pun semua menolak karena merasa selama ini telah dicukupkan oleh baitul mal. Lalu beliau meminta agar para gubernurnya membebaskan para budak, membayarkan utang orang-orang yang berhutang, menikahkan para pemuda yang tidak sanggup menikah serta membiayai kebutuhan mereka namun tetap saja harta itu masih melimpah hingga pada akhirnya dikembalikan lagi ke baitul mal-baitul mal kaum muslimin.
Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz selesai melaksanakan shalat isya lalu dia menemui putri-putrinya dan memberikan salam kepada mereka. Ketika itu putri-putrinya merasakan sesuatu sehingga mereka menutupi mulut-mulut mereka dengan tangan mereka dan bersegera keluar (tidak menemui ayahnya). Umar pun bertanya kepada wanita pengasuh mereka, ”Apa yang terjadi dengan mereka?” Wanita itu menjawab, ”Sesungguhnya mereka tidaklah memiliki sesuatu untuk makan malam kecuali hanya kacang adas dan bawang merah lalu mereka khawatir engkau akan mencium baunya dari mulut-mulut mereka.” Umar pun menangis dan berkata kepada mereka, ”Wahai putri-putriku, sesungguhnya berbagai jenis makanan untuk makan malam tidaklah bermanfaat bagi kalian jika kelak ayah kalian dicemplungkan ke neraka.” Maka putri-putrinya itu pun menangis dengan suara keras dan Umar pun berlalu.
Umar adalah sosok pemimpin yang menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah berat bukan sarana memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Diceritakan dari Abdul Aziz putra Umar bin Abdul Aziz bahwa aku pernah dipanggil (khalifah) al Manshur dan dia bertanya, ”Berapakah kekayaan Umar bin Abdul Aziz ketika diangkat sebagai khalifah?” Aku menjawab, ”50.000 dinar.” Al Manshur kembali bertanya, ”Lalu berapakah kekayaannya di hari kematiannya?” Aku menjawab, ”hanya 200 dinar.”
Dari Amr bin Muhajir bahwa belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya adalah 2 dirham. Dari Said bin Amir adh Dhab’i dari Aun bin al Mu’tamar bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata kepada istrinya, ”Apakah kamu punya satu dirham untuk aku belikan anggur?” Istrinya menjawab, ”Tidak punya.” Umar kembali bertanya, ”Apakah kamu punya beberapa sen saja?” Istrinya menjawab, ”Tidak. Anda Amirul Mukminin sementara anda tidak sanggup menghadirkan satu dirham!’ Umar menjawab, ”Keadaan seperti ini jauh lebih ringan daripada gulungan rantai di neraka jahanam.”
Fatimah istri Umar bin Abdul Aziz pernah menceritakan bahwa beliau adalah orang yang paling banyak shalat dan puasa, dan aku tidak melihat seorang yang paling menyendiri dengan Tuhannya daripada dirinya. Beliau apabila selesai melaksanakan shalat isya maka memperpanjang duduknya di masjid lalu mengangkat kedua tangannya dengan terus menangis sehingga kedua matanya diserang kantuk kemudian terjaga sementara dirinya masih berdoa dengan mengangkat kedua tangannya sambil menangis kemudian kedua matanya diserang kantuk lagi dan terjaga lagi, begitulah (keadaannya) sepanjang malam.
Sungguh sosok kepemimpinan yang saat ini hilang dari tubuh umat meskipun umat ini memiliki ribuan atau bahkan ratusan ribu pemimpin. Sosok kepemimpinan yang didambakan dan dirindukan kehadirannya untuk bisa mengangkat kualitas hidup dunia maupun akherat mereka. Sosok kepemimpinan yang mendahulukan rakyatnya saat senang dan membelakangkan mereka saat sulit karena takut hari perhitungannya dihadapan Allah SWT.



Larinya Para Ulama dari Amanah
Kelemahan iman dan jauhnya para pemimpin dari Allah SWT adalah juga disebabkan pengabaian para ulama dan dainya dari tugas utamanya sebagai pewaris Nabi yaitu menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dan pengabaian terhadap amanah ilmu yang dipikul di pundaknya disebabkan tak kuasanya mereka terhadap tarikan-tarikan dunia berupa harta, kekuasaan dan jabatan dan terkadang pula wanita.
Imam Ghazali mengatakan dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”, ”Adapun saat ini para pemimpin yang tamak telah mengikat lidah-lidah para ulama sehingga menjadikan mereka terdiam tidak bisa berbicara, kata-kata mereka tidaklah membantu keadaan-keadaan mereka maka mereka pun mengalami kegagalan. Seandainya mereka jujur dan benar dalam menunaikan hak ilmunya maka pastilah mereka sukses. Maka kerusakan rakyat disebabkan kerusakan para pemimpin dan kerusakan para pemimpin disebabkan kerusakan para ulama dan kerusakan para ulama disebabkan mereka dikuasai sifat cinta harta dan jabatan. Barangsiapa yang dikuasai oleh cinta dunia maka dia tidak akan mampu mengawasi berbagai dosanya, lantas bagaimana dengan para penguasa dan pejabat?”
Para ulama dan dai yang memiliki ilmu agama saja ketika dikuasai oleh cinta harta dan jabatan tidak mampu mengendalikan dirinya untuk tidak berbuat maksiat dan dosa apalagi para pemimpin yang tidak memiliki dasar ilmu agama tentunya lebih tidak mampu lagi mengendalikan diri mereka untuk tidak berbuat maksiat dan dosa.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ ﴿١٧٥﴾وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿١٧٦﴾
Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al A’raf [7] : 175-176)
Ibnu Katsir didalam tafsirnya menjelaskan tentang makna وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ adalah cenderung kepada perhiasan dan bunga-bunga dunia, menginginkan kelezatan dan kenikmatannya. Hingga akhirnya dia pun terpedaya sebagaimana terpedayanya orang-orang selainnya dari kalangan para ulama.
Sementara Sayyid Qutb mengatakan bahwa makna “mengikuti hawa nafsu” adalah mengikuti hawa nafsunya sendiri dan hawa nafsu para penguasa yang memiliki diri mereka (para ulama itu) untuk kepentingan mereka (penguasa) demi mencari harta benda kehidupan dunia.
Betapa banyak orang-orang alim dalam agama dan kami melihat mereka memahami hakikat agama Allah kemudian tergelincir darinya lalu menyuarakan selainnya, memanfaatkan ilmunya dalam berbagai penyimpangan yang dikehendaki, fatwa-fatwa yang dinginkan para pemimpin dunia yang semu! (Fii Zhilalil Qur’an juz III hal 322)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma'ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-NYa dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do'a kalian tidak lagi dikabulkan." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan.
Umat ini membutuhkan para ulama dan dai yang robbaniyin yang senantiasa berhubungan erat dengan Allah SWT, hati dan fikirannya senantiasa terikat dengan akherat meskipun jiwa mereka di dunia berinteraksi dengan umatnya. Para ulama yang tidak berorientasi dunia dan mencari keuntungan-keuntungan dunia dengan ilmunya, yang takut menyia-nyiakan amanah ilmu dan dakwah yang telah dipikulkan Allah diatas pundaknya, senantiasa menyerukan yang maruf dan mencegah yang munkar meskipun orang-orang tidak menyukainya sebagaimana dicontohkan oleh para pendahulu mereka dari kalangan salafus shaleh.

Karena itu sekecil apa pun kemaksiatan dan dosa yang ada ditengah-tengah umat tidak boleh dibiarkan karena ia akan terus melebarkan pengaruhnya kepada orang-orang disekitarnya sehingga menjadikan banyak para pendukungnya bagaikan suatu penyakit menular yang manakala didiamkan tidak diobati akan semakin menularkan orang-orang yang ada disekitarnya dan membahayakan mereka semua.
Semoga berbagai kejadian dan musibah di negeri ini semakin menyadarkan para ulama, pemimpin dan rakyatnya untuk menahan diri dari segala kemaksiatan dan kembali kepada Allah dengan berbagai amal-amal ketaatan kepada-Nya. Karena kebaikan negeri ini kembali kepada keimanan dan ketakwaan ketiganya.
Wallahu A’lam.

Rabu, 03 November 2010

Kalimat Syaikhul Tarbiyah yang Menggugah

"Seonggok kemanusiaan terkapar,
Siapa yang mengaku bertanggung jawab?
Bila semua menghindar
biarlah saya yang menanggungnya
semua atau sebagiannya....

(Ust. Rahmat Abdullah)

Minggu, 31 Oktober 2010

Mobil Imppian Ali


Mas ali kok jajan terus....
katanya uangnya mau ditabung buat beli avanza tahun depan.

"Iya bi...uangku sudah banyak lho bi...beli Avanza yang hitam ya bi..."
"iya Mas Ali, dikurangi uang jajannya..."

Jumat, 22 Oktober 2010

Ketika Anakku Sakit

Sakit .....
Tubuhnya yang mungil menggigil. Ia belum bisa mengatakan sesuatu yang ia rasakan, ketika tak nyaman ia menangis. Ketika merasakan takut, ia panggil nama yang menurutnya akan menyembuhkan dan menghilangkan siksa tubuhnya....Abi..., atau Umii.....
Tangisnya, kalau didengar seperti mengaduk perasaan....
Sediiih sekali tiap begini ini.

Aliya Muthi'ah....
Aliya (yang berilmu tinggi) ...dan muthi'ah (wanita yang thoat)....
Seperti itu pula harapan kami orang tuanya.....

Nak, abi doakan selalu...umi pun tentu mendoakanmu....
Semoga Allah SWT mengirimkan penawarnya....

Jumat, 15 Oktober 2010

Kenapa Pasangan Makin Jarang Komunikasi

Teknologi memang mempermudah kita untuk berkomunikasi dengan pasangan. Tetapi, hal ini justru bisa membuat Anda dan pasangan makin jarang untuk bertemu dan berbicara secara langsung.

Diketahui dari survei yang dilakukan oleh sebuah perusahaan asuransi, Esure, satu dari sepuluh pasangan menghabiskan lebih banyak waktu berkomunikasi melalui telepon, email dan chatting dibandingkan berkomunikasi secara langsung.

Meningkatnya beban kerja adalah salah satu penyebab pasangan menghabiskan waktu berbicara dengan tatap muka kurang dari satu jam dalam sehari. Diketahui juga satu dari lima pasangan menghabiskan waktu hanya 15 menit sehari berbicara secara pribadi.

Pasangan rata-rata saling mengirim 1002 sms dan hampir 400 e-mail setiap tahunnya. Wanita rata-rata mengirim sms lebih banyak lebih banyak dari pria, rata-rata dua kali sms tiap harinya.

Dari 1.000 orang yang terlibat dalam survei diketahui sebanyak 13 persen selalu memeriksa akun Facebook pasangannya untuk mengetahui kegiatan mereka. Lalu, tidak termasuk waktu tidur, rata-rata pasangan hanya menghabiskan waktu untuk berkomunikasi dengan tatap muka hanya 45 menit hingga tiga jam per minggunya.

Sebanyak 51 menit dihabiskan dihabiskan dengan diam sambil menonton televisi dan 37 menit mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Lebih dari 27 persen pasangan mengaku tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi secara tatap muka kecuali saat libur akhir pekan. Dari survei juga diketahui 41 persen pasangan lebih memilih menggunakan sms, email, chatting dan situs jejaring sosial untuk menyampaikan pesan daripada berbicara langsung.

"Kita bisa memberitahu gambaran perasaan, pada orang yang kita cintai atau benci hanya dengan mengklik tombol tanpa melihat reaksi nyata dari mereka. Sesekali jangan gunakan teknologi dan luangkanlah waktu untuk berkomunikasi langsung," kata Dr. Cecilia d’Felice, psikolog asal Inggris, seperti dikutip dari Daily Mail. (vivanews.com)

Rabu, 22 September 2010

Menangislah Karena Allah SWT

Allah menghendaki kehidupan manusia senantiasa mengalami berbagai perubahan antara senang dan sedih, suka dan duka, sehat dan sakit. Sebagaimana biasa mengalami lapang dan sempit, harap dan takut, tertawa dan menangis. Semua ini adalah aturan Allah yang sangat bermanfaat bagi setiap mukmin demi meningkatkan ketakwaan.

Dan akan menjadi bencana bagi yang tidak beriman, karena dia tidak sadar bahwa
semua itu adalah bekal yang sangat bermanfaat bagi peningkatan derajat dalam kehidupan. Karena itu, dalam menyikapi semua kondisi yang dihadapi ini manusia tidak terlepas dari salah satu dianatara dua nilai, yaitu positif dan negatif atau benar dan salah, baik menurut pandangan manusia atau pun pandangan Yang Maha Kuasa.

Seseorang dapat meingkatkan keimanannya dengan menjalin ukhuwwh Islamiyah yang sering dihiasi dengan senyuman dan juga dapat meningkatkan taqarrub kepada
Rabbnya dengan sering mengis karena menyadari akan kelalaian dalam melaksanakan kewjiban dimasa lalu, dan menangis karena takut akan kekeliruan dalam memhami dan salah mengamalkan ajaran Ilahi yang mesti ditatinya demi leselamatan dan kemaslahatn dimasa mendatang.

Manangis adalah akhlaq para nabi dan kebiasaan para shalihin. Namun tentu bukan sekedar menangis, melainkan menangis yang membuktikan penghambaan diri yang muncul dari kesadaran yang sangat mendalam.

Sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah yang selalu memerlukan pertolongan; hamba yang menyadari sering lalai terhadap aturan-Nya; hamba yang sangat bodoh tapi sring menyombongkan diri dengan ilmu yang sangat sedikit; hamba yang tidak memiliki apa-apa tapi berlaga sombonga seakan-akan apa yang ada dalam dirinya adalah miliknya; sungguh semua yang ada pada diri seorang hamba baik berupa jasad kesehatan, harta, jabatan atau lainnya, semua itu adalah amanat yang mesti dipelihara dengan menggunakannya sesuai fungsinya dan mesti dipertanggungjawabakan pada saat yang tidak lama lagi akan tiba.

Para nabi menangis karena melihat ummat yang sedang mendertia kebejadan akhlaq dan penyimpangan aqidah serta kerusakan pemahaman terhadap syari’ah yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Para ualama sering menangis karena khawatir tidak dapat melanjutkan perjuangan Rasul akibat beratnya tantangan dan kurangnya kemampuan serta meluasnya kema’siatan.

Bila dibacakan kepada mereka ayat Allah yang berisi perintah, mereka menyadari belum dapat melaksanakan perintah sebagaimana mestinya. Sebaliknya bila dibacakan ayat yang mngandung larangan, mereka selalu ingat akan semua perbuatan yang menurut pandangan manusia tidak termasuk pelanggaran, padahal boleh jadi, tanpa disadari, dihadapan Allah sering sekali melakukan pelanggaran.

Bila dibacakan ayat-ayat tentang kenikmatan surga, terbayanglah orang lain sedang menikmatinya, sementara dirinya sedang dalam penderitaan menonton dari kejauhan apa yang dinikmati ahli surga, karena menyadari belum beramal sebagaimana mestinya yang memenuhi kriteria untuk menjadai mauttaqiin shalihin.

Bila sudah melaksanakan sebagain perintah-Nya, mereka yakin bahwa tiada yang dapat mengetahui apakah amalnya memenuhi syarat diterma Allah ataukah tidak. Dan bila bertaubat, dari mana diketahui bahwa taubatnya memenuhi syarat untuk diterima dihadapan Allah.

Semakin tinggi ketakwaan seseorang maka semakin mudah baginya mengetahui kesalahan dan kelalian dirinya dan semakin menyadari bahwa dirinya masih jauh untuk mencapai tingkat muttaqin.

Karenanya ketakutan kepada Allah akan semakin meningkat, demikian pula harapan akan ampunan semakin bertambah. Wallahu 'alam.(doc.ust.Syaiful islam mubarak, Lc)