Ilmu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dalam mendudukkan ilmu dan dalil-dalil syar’i, ada kekeliruan yang hampir menjadi konsumsi umum, tidak saja kalangan orang awam, tapi juga sebagian kalangan intelektual bahkan mereka yang biasa mengajarkan din (baca: ustadz). Umumnya mereka menyamaratakan terminologi ilmu, baik ilmu syar’i maupun ilmu duniawi. Ironinya, yang mereka pakai untuk mendalili masalah ilmu itu justeru dalil-dalil yang sesungguhnya khusus untuk ilmu syar’i.
Nabi bersabda :”Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, niscaya ia dipahamkan dalam urusan agama.” (HR.Bukhari-Muslim).
Karena itu, sangat wajar ketika Nabi salah menegur para sahabat yang mengawinkan bunga pohon kurma. Sehingga beliau bersabda :”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”(HR. Muslim). Jika yang dimaksud ilmu dalam terminologi Al-Qur’an dan As-Sunnah itu termasuk juga ilmu duniawi, tentu Nabi saw. adalah orang yg mestinya paling lebih tahu. (Mujammad Ibn Utsmain, Kitabul Ilmi, 5-7).
Maka yang dimaksud orang alim ditinggikan derajatnya oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11, adalah alim dalam ilmu syar’i. Allah SWT berfirman :”Allah meninggikan orang-orang yg beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11).
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, mengatakan: “Makna ayat tersebut adalah Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat. Dan Allah akan mengangkat derajat (orang-orang beriman) yang berilmu atas orang-orang yang beriman (saja, tetapi tidak berilmu) beberapa derajat. Dan barangsiapa menghimpun iman dan ilmu dalam dirinya maka dengan imannya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat, dan dengan ilmunya pula Allah akan mengangkatnya (lagi) beberapa derajat. Ada pendapat yang mengatakan, yang dimaksud ilmu di sini adalah orang-orang yang ahli dalam bacaan Al-Qur’an (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h.418). Namun konteks ayat itu sesungguhnya adalah umum. Yakni setiap mukmin yang berilmu syar’i dalam berbagai disiplinnya seperti ilmu aqidah, Tafsir, Hadis, dll. Sebab tidak ada dalil yg menunjukkan adanya pengkhususan ilmu syar’i tertentu atas ilmu-ilmu yang lain (dalam konteks ayat tersebut).” (Syaukani, Fathul Qadir, h.189)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sebegitu superior kedudukan ilmu syar’i dibanding ilmu-ilmu lain (baca: duniawi) ? Analisa empiriknya adalah sebagai berikut; Tidak ada satu materi pun dari ilmu syar’i yang secara substantif membahayakan atau berdampak negatif. Semua ilmu syar’i adalah bermanfaat dan untuk kemaslahatan umat manusia. Berbeda dengan ilmu duniawi, ia memiliki dua sisi ketajaman; sarana kemanfaatan umat manusia dan atau sarana penghancur kehidupan. Karena itu, menentukan hukum ilmu duniawi harus terlebih dahulu ditinjau dari sisi kemanfaatan dan kemudharatannya. Dan secara umum, bila ilmu duniawi itu baik dan untuk kemaslahatan manusia, maka hukum mempelajarinya bisa menjadi fardhu kifayah. Demikian itulah sudut pandang agama terhadap ilmu secara umum.
Hukum Menuntut Ilmu Syar’i
Dari segi obyeknya, menuntut ilmu syar’i (agama) secara muthlak hukumnya adalah fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan firman Allah :”Tidaklah sepatutnya segenap kaum mukminin itu berangkat berperang. Mengapa tidak ada segolongan dari mereka yang berangkat untuk mendalami urusan din (agama) dan agar mereka memberi peringatan kepada kaum mereka bila mereka telah kembali, mudah-mudahan mereka menjadi ingat.” (QS. al-Taubah: 122)
Tapi ditinjau dari sisi subyeknya, maka hukum menuntut ilmu syar’i bisa menjadi fardhu ain (wajib secara individu). Dalam arti, setiap orang wajib mengetahui (mengilmui) setiap ibadah atau muamalah yang dikerjakannya. Karena Islam sangat menekankan ilmu sebelum beramal. Seorang pribadi muslim adalah seorang yang bertindak dan berbuat berdasarkan pengetahuan, bukan latah dan asal melangkah. Dalam bahasa modern, pribadi muslim adalah pribadi yang profesional, yang berbuat berdasarkan ilmu dan konsep yang matang.
Allah berfirman :”Dan janganlah engkau berpijak (bertindak) tidak atas berdasarkan ilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu ada pertanggung-jawabannya.”(QS. al-Isra’: 36).
Setiap manusia memiliki naluri ingin mengetahui. Apa yang ingin diketahui manusia itu bersifat umum, kompleks dan mengandung pengertian yang sangat luas. Dan yang paling utama adalah kegelisahan untuk mengetahui ilmu agama, tetapi juga termasuk di dalamnya segala disiplin ilmu. Kegelisahan manusia untuk selalu mengetahui, termasuk mengetahui hal-hal baru tersebut, bagi para ilmuwan adalah sebuah keniscayaan, kecuali jika ajaran atau ilmu tersebut jelas-jelas berten tangan dengan aqidah. Dengan kata lain, menfungsikan akal secara dinamis kreatif haruslah dengan memposisikan akal di bawah superioritas wahyu (baca: landasan syar’i). Sehingga ketika terjadi kontradiksi antara keduanya, maka yang didahulukan adalah wahyu, bukan akal sebagaimana prinsip kaum Mu’tazilah. Karena kebebasan berfikir sebagai akibat dari, di antaranya, pesatnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, utamanya dalam hal ini adalah filsafat maka tak sedikit intelektual muslim (demikian biasa disebut orang) yang kebablasan. Dengan gegap gempita mereka menyuarakan perlunya merekonstruksi kembali tatanan dan hukum-hukum agama yg telah baku sejak awal sejarah Islam.
Ironinya, mereka senang mengutak-atik hal-hal yang telah clear and distinc (jelas dan tegas) dalam agama daripada membahas persoalan-persoalan aktual yang muncul yang belum ada pembahasan sebelumnya. Hal-hal yang mereka bahas itu entah dengan motivasi apa dan karena siapa di antaranya adalah masalah hukum waris, salam, gender, jilbab dan sejenisnya yang sebetulnya telah selesai dibahas dengan dalil-dalil yg autentik dan tegas kesahihannya, kecuali jika interpretasinya diplintir dan konstruksi kebenaran agama diporak-porandakan parameternya.
Bila kita cermati kehidupan masyarakat, ada dua fenomena menonjol yang saling berlawanan tentang penggunaan akal, yang ironinya masing-masing menunjukkan ekstrimitas. Yang pertama adalah fenomena filsafat yang identik dengan kebebasan berfikir tanpa batas, tanpa mau mengenal petunjuk-petunjuk wahyu dan agama. Bahkan menurut mereka berbicara dengan memakai dalil wahyu atau agama akan menjadi ‘sesuatu yang lucu dan dihinakan’. Karena itu, para filsuf besar lebih banyak ‘beragama’ filsafat, ilmu yang digelutinya tiap saat. Men-tuhan-kan akal pikir annya, atau bahkan tidak bertuhan sama sekali (atheis). Yang sangat memiriskan, tidak sedikit intelektual muslim yang bergelut dengan filsafat terkena pengaruh tradisi dan pola pikir filsafat.
Fenomena kedua adalah adanya kelompok manusia, juga sebagian umat Islam yang sangat meremehkan penggunaan akal. Bahkan kenyataan yg ada mengesankan, sebaiknya orang tidak usah berfikir dan menggunakan akalnya. Orang yang berbicara dengan metode berfikir yang runut, logis, kritis dan argumentatif serta merta dijuluki sebagai ‘aqlani, menyimpang dan sebagainya, padahal belum tentu menyimpang dari wahyu.
Rambu-rambu Akal
Penggunaan akal tanpa batas adalah sangat berbahaya. Sebab jika terlalu jauh, ia akan men-tuhan-kan akalnya, menjauhi ilmu syar’i dan imannya hilang. Untuk itu, dalam hal penggunaan akal, paling tidak ada rambu-rambu yg mesti diperhatikan :
Pertama, memahami bahwa dasar agama bukanlah akal atau logika manusia, melainkan wahyu Allah; Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena seberapa pun canggih akal manusia, tetapi di hadapan wahyu Allah ia adalah lemah.
Kedua, memahami adanya ayat-ayat muhkamat (yang terang dan tegas maksudnya dan dapat dipahami dengan mudah) dan ayat-ayat mutasyabihat; ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti dan maknanya kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yg pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib. Ini tentunya agar tidak terjebak dalam memahami ayat al-Qur’an, sebagaimana para filsuf-filsuf.
Ketiga, Apabila suatu masalah telah ada dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits sahih, maka akal atau logika manusia harus tunduk, karena ia adalah tuntunan dan wahyu Allah.
Keempat, tidak mengubah pengertian dalil dari pengertian aslinya. Biasanya hal ini dilakukan dengan memotong-motong dalil disesuaikan dengan keinginan dan hawa nafsu.
Kelima, Tidak menggunakan takwil. Yakni pengalihan dari makna yang dekat kepada makna yang jauh.
Keenam, tidak menggunakan qiyas (analog) yang bertentangan dengan dalil. Para ulama Salaf mengatakan, menggunakan qiyas yang bertentangan dengan nash (dalil) adalah cara iblis.
Ketujuh, memahami mana yang termasuk wilayah ijtihad dan mana yang bukan. Karena tidak semua masalah dalam agama bisa dimasuki daya kritis otak manusia.
Kedelapan, menahan diri dari membahas hal-hal yang tidak perlu, karena hal itu bisa memporak-porandakan hukum agama.
Kesembilan, memiliki landasan pemahaman agama yang kuat dan mendalam melalui penguasaan berbagai disiplin ilmu agama.
Kesepuluh, berusaha menguasai bahasa Arab dengan baik. Karena mayoritas teks-teks agama adalah ditulis dengan bahasa Arab.
Kesebelas, memiliki motivasi yang ikhlas untuk pengembangan kajian keilmuan Islam, bukan motivasi-motivasi lain yang bersifat duniawiyah dan sesa’at.
Bila kesebelas rambu-rambu di atas diperhatikan sebelum daya kritis dan berfikir filosofis diterapkan dalam kajian Islam, maka insya Allah out put yang kita panen adalah ke-terarah-an kajian Islam pada rel yang benar dan kebergairahan pengembangan metodologi dan berfikir kritis analitis demi kemajuan pengembangan kajian-kajian Islam.
Kebutuhan ilmu syar’i dan kaderisasi
Ada banyak alasan bahwa kebutuhan kita terhadap ilmu syar’i saat ini sangat mendesak, di antaranya :
Pertama, semakin merebaknya berbagai bid’ah di tengah-tengah umat Islam. Apalagi di era reformasi ini, hampir tidak ada yang mampu membendung berbagai kreasi dan inovasi baru dalam perkara agama (baca: bid’ah), karena kran kebebasan dibuka seluas-luasnya.
Kedua, semakin suburnya orang-orang yang berbaju ulama, tetapi bukan ulama. Mereka dengan mudahnya memberikan fatwa-fatwa agama tanpa didasari ilmu, melainkan dengan logika/akal dan atau pada perasaan mereka. Di sisi lain, masyarakat buta untuk bisa membedakan fatwa yang benar dengan fatwa yang menyalahi dalil.
Ketiga, kecenderungan untuk mendudukkan diri sendiri sejajar dengan para ulama salafush shalih. Misalnya dengan jargon, mereka laki-laki, maka kita juga laki-laki. Dalam arti, punya kewenangan dan otoritas yg sama dalam membahas dan atau mencermati kemudian mengambil kesimpulan hukum/berijtihad. Implikasinya, banyak berbagai persoalan yang menurut para ulama telah jelas, diutak-atik kembali dan dijungkir-balikkan dengan tanpa ditopang dalil yang kuat, malahan terkadang hanya berdasarkan logika yang lemah. Istilah mereka, perlu diadakan rekonstruksi syari’ah, atau peninjauan dan pembongkaran kembali makna, kandungan, dan hukum-hukum syari’ah. Sebab gejala yang ada adalah banyak orang yang secara teori menguasai ilmu/pemahaman terhadap berbagai persoalan agama (namun mereka bukan ulama), tetapi tidak mau memperhatikan bagaimana cara mendidik, memperbaiki dan mengarahkan umat yg merupakan tujuan dakwah.
Al Qur'an dan Akal |
Dalam mendudukkan ilmu dan dalil-dalil syar’i, ada kekeliruan yang hampir menjadi konsumsi umum, tidak saja kalangan orang awam, tapi juga sebagian kalangan intelektual bahkan mereka yang biasa mengajarkan din (baca: ustadz). Umumnya mereka menyamaratakan terminologi ilmu, baik ilmu syar’i maupun ilmu duniawi. Ironinya, yang mereka pakai untuk mendalili masalah ilmu itu justeru dalil-dalil yang sesungguhnya khusus untuk ilmu syar’i.
Nabi bersabda :”Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, niscaya ia dipahamkan dalam urusan agama.” (HR.Bukhari-Muslim).
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian (warisan) yang banyak.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kita sangat paham, yang diwariskan para nabi tidak lain adalah ilmu syar’i, bukan ilmu-ilmu lain. Karena itu, sangat wajar ketika Nabi salah menegur para sahabat yang mengawinkan bunga pohon kurma. Sehingga beliau bersabda :”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”(HR. Muslim). Jika yang dimaksud ilmu dalam terminologi Al-Qur’an dan As-Sunnah itu termasuk juga ilmu duniawi, tentu Nabi saw. adalah orang yg mestinya paling lebih tahu. (Mujammad Ibn Utsmain, Kitabul Ilmi, 5-7).
Maka yang dimaksud orang alim ditinggikan derajatnya oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11, adalah alim dalam ilmu syar’i. Allah SWT berfirman :”Allah meninggikan orang-orang yg beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11).
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, mengatakan: “Makna ayat tersebut adalah Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat. Dan Allah akan mengangkat derajat (orang-orang beriman) yang berilmu atas orang-orang yang beriman (saja, tetapi tidak berilmu) beberapa derajat. Dan barangsiapa menghimpun iman dan ilmu dalam dirinya maka dengan imannya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat, dan dengan ilmunya pula Allah akan mengangkatnya (lagi) beberapa derajat. Ada pendapat yang mengatakan, yang dimaksud ilmu di sini adalah orang-orang yang ahli dalam bacaan Al-Qur’an (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h.418). Namun konteks ayat itu sesungguhnya adalah umum. Yakni setiap mukmin yang berilmu syar’i dalam berbagai disiplinnya seperti ilmu aqidah, Tafsir, Hadis, dll. Sebab tidak ada dalil yg menunjukkan adanya pengkhususan ilmu syar’i tertentu atas ilmu-ilmu yang lain (dalam konteks ayat tersebut).” (Syaukani, Fathul Qadir, h.189)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sebegitu superior kedudukan ilmu syar’i dibanding ilmu-ilmu lain (baca: duniawi) ? Analisa empiriknya adalah sebagai berikut; Tidak ada satu materi pun dari ilmu syar’i yang secara substantif membahayakan atau berdampak negatif. Semua ilmu syar’i adalah bermanfaat dan untuk kemaslahatan umat manusia. Berbeda dengan ilmu duniawi, ia memiliki dua sisi ketajaman; sarana kemanfaatan umat manusia dan atau sarana penghancur kehidupan. Karena itu, menentukan hukum ilmu duniawi harus terlebih dahulu ditinjau dari sisi kemanfaatan dan kemudharatannya. Dan secara umum, bila ilmu duniawi itu baik dan untuk kemaslahatan manusia, maka hukum mempelajarinya bisa menjadi fardhu kifayah. Demikian itulah sudut pandang agama terhadap ilmu secara umum.
Hukum Menuntut Ilmu Syar’i
Dari segi obyeknya, menuntut ilmu syar’i (agama) secara muthlak hukumnya adalah fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan firman Allah :”Tidaklah sepatutnya segenap kaum mukminin itu berangkat berperang. Mengapa tidak ada segolongan dari mereka yang berangkat untuk mendalami urusan din (agama) dan agar mereka memberi peringatan kepada kaum mereka bila mereka telah kembali, mudah-mudahan mereka menjadi ingat.” (QS. al-Taubah: 122)
Tapi ditinjau dari sisi subyeknya, maka hukum menuntut ilmu syar’i bisa menjadi fardhu ain (wajib secara individu). Dalam arti, setiap orang wajib mengetahui (mengilmui) setiap ibadah atau muamalah yang dikerjakannya. Karena Islam sangat menekankan ilmu sebelum beramal. Seorang pribadi muslim adalah seorang yang bertindak dan berbuat berdasarkan pengetahuan, bukan latah dan asal melangkah. Dalam bahasa modern, pribadi muslim adalah pribadi yang profesional, yang berbuat berdasarkan ilmu dan konsep yang matang.
Allah berfirman :”Dan janganlah engkau berpijak (bertindak) tidak atas berdasarkan ilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu ada pertanggung-jawabannya.”(QS. al-Isra’: 36).
Setiap manusia memiliki naluri ingin mengetahui. Apa yang ingin diketahui manusia itu bersifat umum, kompleks dan mengandung pengertian yang sangat luas. Dan yang paling utama adalah kegelisahan untuk mengetahui ilmu agama, tetapi juga termasuk di dalamnya segala disiplin ilmu. Kegelisahan manusia untuk selalu mengetahui, termasuk mengetahui hal-hal baru tersebut, bagi para ilmuwan adalah sebuah keniscayaan, kecuali jika ajaran atau ilmu tersebut jelas-jelas berten tangan dengan aqidah. Dengan kata lain, menfungsikan akal secara dinamis kreatif haruslah dengan memposisikan akal di bawah superioritas wahyu (baca: landasan syar’i). Sehingga ketika terjadi kontradiksi antara keduanya, maka yang didahulukan adalah wahyu, bukan akal sebagaimana prinsip kaum Mu’tazilah. Karena kebebasan berfikir sebagai akibat dari, di antaranya, pesatnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, utamanya dalam hal ini adalah filsafat maka tak sedikit intelektual muslim (demikian biasa disebut orang) yang kebablasan. Dengan gegap gempita mereka menyuarakan perlunya merekonstruksi kembali tatanan dan hukum-hukum agama yg telah baku sejak awal sejarah Islam.
Ironinya, mereka senang mengutak-atik hal-hal yang telah clear and distinc (jelas dan tegas) dalam agama daripada membahas persoalan-persoalan aktual yang muncul yang belum ada pembahasan sebelumnya. Hal-hal yang mereka bahas itu entah dengan motivasi apa dan karena siapa di antaranya adalah masalah hukum waris, salam, gender, jilbab dan sejenisnya yang sebetulnya telah selesai dibahas dengan dalil-dalil yg autentik dan tegas kesahihannya, kecuali jika interpretasinya diplintir dan konstruksi kebenaran agama diporak-porandakan parameternya.
Bila kita cermati kehidupan masyarakat, ada dua fenomena menonjol yang saling berlawanan tentang penggunaan akal, yang ironinya masing-masing menunjukkan ekstrimitas. Yang pertama adalah fenomena filsafat yang identik dengan kebebasan berfikir tanpa batas, tanpa mau mengenal petunjuk-petunjuk wahyu dan agama. Bahkan menurut mereka berbicara dengan memakai dalil wahyu atau agama akan menjadi ‘sesuatu yang lucu dan dihinakan’. Karena itu, para filsuf besar lebih banyak ‘beragama’ filsafat, ilmu yang digelutinya tiap saat. Men-tuhan-kan akal pikir annya, atau bahkan tidak bertuhan sama sekali (atheis). Yang sangat memiriskan, tidak sedikit intelektual muslim yang bergelut dengan filsafat terkena pengaruh tradisi dan pola pikir filsafat.
Fenomena kedua adalah adanya kelompok manusia, juga sebagian umat Islam yang sangat meremehkan penggunaan akal. Bahkan kenyataan yg ada mengesankan, sebaiknya orang tidak usah berfikir dan menggunakan akalnya. Orang yang berbicara dengan metode berfikir yang runut, logis, kritis dan argumentatif serta merta dijuluki sebagai ‘aqlani, menyimpang dan sebagainya, padahal belum tentu menyimpang dari wahyu.
Rambu-rambu Akal
Penggunaan akal tanpa batas adalah sangat berbahaya. Sebab jika terlalu jauh, ia akan men-tuhan-kan akalnya, menjauhi ilmu syar’i dan imannya hilang. Untuk itu, dalam hal penggunaan akal, paling tidak ada rambu-rambu yg mesti diperhatikan :
Pertama, memahami bahwa dasar agama bukanlah akal atau logika manusia, melainkan wahyu Allah; Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena seberapa pun canggih akal manusia, tetapi di hadapan wahyu Allah ia adalah lemah.
Kedua, memahami adanya ayat-ayat muhkamat (yang terang dan tegas maksudnya dan dapat dipahami dengan mudah) dan ayat-ayat mutasyabihat; ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti dan maknanya kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yg pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib. Ini tentunya agar tidak terjebak dalam memahami ayat al-Qur’an, sebagaimana para filsuf-filsuf.
Ketiga, Apabila suatu masalah telah ada dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits sahih, maka akal atau logika manusia harus tunduk, karena ia adalah tuntunan dan wahyu Allah.
Keempat, tidak mengubah pengertian dalil dari pengertian aslinya. Biasanya hal ini dilakukan dengan memotong-motong dalil disesuaikan dengan keinginan dan hawa nafsu.
Kelima, Tidak menggunakan takwil. Yakni pengalihan dari makna yang dekat kepada makna yang jauh.
Keenam, tidak menggunakan qiyas (analog) yang bertentangan dengan dalil. Para ulama Salaf mengatakan, menggunakan qiyas yang bertentangan dengan nash (dalil) adalah cara iblis.
Ketujuh, memahami mana yang termasuk wilayah ijtihad dan mana yang bukan. Karena tidak semua masalah dalam agama bisa dimasuki daya kritis otak manusia.
Kedelapan, menahan diri dari membahas hal-hal yang tidak perlu, karena hal itu bisa memporak-porandakan hukum agama.
Kesembilan, memiliki landasan pemahaman agama yang kuat dan mendalam melalui penguasaan berbagai disiplin ilmu agama.
Kesepuluh, berusaha menguasai bahasa Arab dengan baik. Karena mayoritas teks-teks agama adalah ditulis dengan bahasa Arab.
Kesebelas, memiliki motivasi yang ikhlas untuk pengembangan kajian keilmuan Islam, bukan motivasi-motivasi lain yang bersifat duniawiyah dan sesa’at.
Bila kesebelas rambu-rambu di atas diperhatikan sebelum daya kritis dan berfikir filosofis diterapkan dalam kajian Islam, maka insya Allah out put yang kita panen adalah ke-terarah-an kajian Islam pada rel yang benar dan kebergairahan pengembangan metodologi dan berfikir kritis analitis demi kemajuan pengembangan kajian-kajian Islam.
Kebutuhan ilmu syar’i dan kaderisasi
Ada banyak alasan bahwa kebutuhan kita terhadap ilmu syar’i saat ini sangat mendesak, di antaranya :
Pertama, semakin merebaknya berbagai bid’ah di tengah-tengah umat Islam. Apalagi di era reformasi ini, hampir tidak ada yang mampu membendung berbagai kreasi dan inovasi baru dalam perkara agama (baca: bid’ah), karena kran kebebasan dibuka seluas-luasnya.
Kedua, semakin suburnya orang-orang yang berbaju ulama, tetapi bukan ulama. Mereka dengan mudahnya memberikan fatwa-fatwa agama tanpa didasari ilmu, melainkan dengan logika/akal dan atau pada perasaan mereka. Di sisi lain, masyarakat buta untuk bisa membedakan fatwa yang benar dengan fatwa yang menyalahi dalil.
Ketiga, kecenderungan untuk mendudukkan diri sendiri sejajar dengan para ulama salafush shalih. Misalnya dengan jargon, mereka laki-laki, maka kita juga laki-laki. Dalam arti, punya kewenangan dan otoritas yg sama dalam membahas dan atau mencermati kemudian mengambil kesimpulan hukum/berijtihad. Implikasinya, banyak berbagai persoalan yang menurut para ulama telah jelas, diutak-atik kembali dan dijungkir-balikkan dengan tanpa ditopang dalil yang kuat, malahan terkadang hanya berdasarkan logika yang lemah. Istilah mereka, perlu diadakan rekonstruksi syari’ah, atau peninjauan dan pembongkaran kembali makna, kandungan, dan hukum-hukum syari’ah. Sebab gejala yang ada adalah banyak orang yang secara teori menguasai ilmu/pemahaman terhadap berbagai persoalan agama (namun mereka bukan ulama), tetapi tidak mau memperhatikan bagaimana cara mendidik, memperbaiki dan mengarahkan umat yg merupakan tujuan dakwah.
"Akal pemberian Tuhan. Wahyu pemberian Tuhan. Keduanya sama-sama dipakai," kata Alec Sutaryo.
BalasHapusPak sutaryo, panjenengan benar...
BalasHapus