Oleh. Ari Wahyono, S.Pd.T, CHt, CNLP
|
Larut dalam Sujud : I'tikaf |
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ada suatu amalan di bulan Ramadhan
yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut.
Amalan tersebut adalah i'tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan
i'tikaf di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat
bagi para pengunjung rumaysho.com sekalian. Semoga Allah senantiasa memberkahi.
I’tikaf secara bahasa berarti
menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di
masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]
Dalil Disyari’atkannya
I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para
ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang
mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه
وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ
الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada
tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari”.[3]
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol
adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana
hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه
وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ
اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya
kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk
mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan
dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak
berdzikir ketika itu.[5]
I’tikaf Harus Dilakukan di
Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri
mereka sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian
juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga
istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama
sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa
disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf
sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]
I’tikaf Boleh Dilakukan di
Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf
disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang
artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. [8]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam
kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di
seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat
187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]
Para ulama selanjutnya berselisih
pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan
shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga
shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf
boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana,
pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ
“sedang kamu beri'tikaf dalam
masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.
Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid
tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika
pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari
masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang
ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib
(bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak
berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua
dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2)
terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja
dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf.
Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah
pada Allah.”[13]
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ
مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat
shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id)
berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf
bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه
وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ
اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya
kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[15]
Namun wanita boleh beri’tikaf di
masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak
menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus
benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]
Lama Waktu Berdiam di
Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf
tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa
waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf
harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya
mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam
Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki
pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak
mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama
ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]
Yang tepat dalam masalah ini,
i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada
batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang
hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan,
“Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang
mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid
(walaupun hanya sesaat).”[22]
Yang Membatalkan I’tikaf
- Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada
kebutuhan yang mubah yang mendesak.
- Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al
Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan
ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187
adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika
I’tikaf
- Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti
ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak
bisa dilakukan di dalam masjid.
- Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang
mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
- Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan
berdua-duaan dengannya.
- Mandi dan berwudhu di masjid.
- Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar
Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari
terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid
setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada
hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits
‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ
مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat
shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id)
berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf
bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]
Namun para ulama madzhab
menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20
Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah
jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
|
Impianku : I'Tikaf di 1434 H |
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf,
seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir,
bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan
menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]
Semoga panduan singkat ini
bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan
membuahkan amalan tentunya.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi
tatimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.
[3] HR. Bukhari no. 2044.
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no.
1172.
[5] Latho-if
Al Ma’arif, hal. 338
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang
mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom,
masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih
diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan
sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar
Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah
perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat
kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid
menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk
kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat
ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk
dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat
Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
2/13754.
[12] Lihat Al Mughni, 4/462.
[14] HR. Bukhari no. 2041.
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no.
1172.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf
tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[24] HR. Bukhari no. 2041.
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh
Sunnah, 2/150-158.